Suatu spesies bisa punah karena  habitatnya dirusak atau karena  lingkungannya telah berubah kearah yang  merugikan bagi spesies tersebut  kepunahan pada kenyataannya tidak dapat  dihindari dalam dunia yang  selalu berubah.
Kepunahan  pada masa permium  menentukan terjadi sekitar 250 juta tahun silam.  Kepunahan pada masa  permium menentukan perbatasan antara zaman  paleozoikum dan mesozoikum  yang memakan korban sekitar 90% spesies hewan  laut dan kehidupan  daratan juga hancur kepunahan masal terjadi kurang  dari 5 juta tahun  dalam konteks waktu geologis dapat dikatakan sebagai  kejadian yang  singkat dan tiba-tiba.
Beberapa  faktor  mungkin berpadu dan secara bersama-sama yang menyebabkan  perubahan  lingkungan yang radikal selama akhir masa permium. Kira-kira  saat itu  adalah waktu ketika semua daratan menyatu membentuk pangea yang   mengganggu banyak habitat laut dan daratan dan mengubah iklim letusan   vulkanis yang besar dan meluas juga terjadi didaerah yang sekarang   dikenal dengan siberia yang tergolong peristiwa letusan vulkanis yang   paling ekstrim pada 500 juta tahun terakhir selain memuntahkan lava dan   debu ke atmosfer, gunung berapi Siberia dapat dikatakan telah   menghasilkan cukup banyak CO2 untuk menaikkan suhu iklim global.   Penurunan perbedaan temperatur antara ekuator dan kutub mungkin telah   memperlambat pencampuran air laut yang selanjutnya mengurangi O2 yang   tersedia bagi organisme laut. Adanya kekurangan Oksigen di laut mungkin   telah memainkan peranan besar dalam kepunahan dimasa permia. Apapun   penyebabnya kepunahan masal mempengaruhi keanekaragaman biologis secara   mendalam, akan tetapi, terdapat suatu sisi kreativ pada peristiwa   penghancuran ini baik melalui kualitas adaptasi yang dimilikinya atau   melalui keberuntungan semata, menjadi bibit untuk radiasi baru yang akan   mengisi banyak zona adaptif yang telah kosong atau baru diciptakan  oleh  kepunahan tersebut. 
Studi  dilakukan  khusus pada kelompok fosil brachiopods, benthic molluscs, dan  bryozoans.  Fosil-fosil ini dapat merekam kondisi lingkungan dan  ekologi pada saat  mereka hidup dan sensitif pada periode ujung  Paleozoic dan awal Mesozoic  tersebut. Dari studi tersebut disimpulkan  bahwa stressful ocean  conditions adalah mekanisme penyebab kepunahan  Permian. Saat itu telah  terjadi peningkatan H2S (kondisi euxinia),  peningkatan konsentrasi CO2,  dan penurunan konsentrasi O2 (anoxia).  Menurut studi ini, kondisi  stressful ocean ini berlangsung dari Late  Permian sampai early Triassic.
   Environmental stress selama Late Permian mungkin telah dimulai sejak   akhir Middle Permian. Saat itu terjadi kondisi anoxic di lautdalam yang   berasosiasi engan Pemian-Triassic superanoxia event. Lautdalam bahkan   kaya H2S (euxinic) di beberapa cekungan. Data sedimentologi dan geokimia   endapan2 Late Permian menunjukkan kondisi euxinia dan kaya CO2 sampai   Early Triassic. Kondisi stress di lautdalam ini telah bergerak ke  tempat  dangkal dan inilah yang menyebabkan end-Permian mass extinction  yang  menyebabkan 80 % spesies marin punah dan 63 % terrestrial families   hilang. Kondisi ini diperparah dengan bertambahnya konsentrasi CO2 di   atmosfer akibat massive Siberian Trap volcanism yang telah menyebabkan   kondisi hypercapnia dan/atau pengasaman lautan dan krisis   biokalsifikasi.
 Pada periode   (Permian-Triassic boundary) ini secara paleontologi dibuktikan oleh   shift dalam global taxonomic richness dari rhynchonelliform brachiopods   ke diverse molluscs. Perubahan ekologi akibat stress lingkungan ini   telah mengurangi dengan drastis dominasi brakiopoda dan briozoa berganti   dengan moluska. Jadi, kondisi anoxia dan euxinic lautdalam telah   mempengaruhi brakiopoda dan briozoa, tetapi tak berpengaruh terhadap   benthic molluscs.
 
Data  kuantitatif fossil marine assemblages menunjukkan  bahwa  rhynchonelliform brachiopods menurun terus jumlahnya sepanjang  Late  Permian dan Early Triassic, terbalik dengan benthic molluscs  (bivalves  dan gastropods), tetapi kembali berlimpah ke tingkat semula  pada Late  Permian tercapai pada Middle dan Late Triassic. Pada  Late-Permian –  Early Triassic itu, bivalves mendominasi 70 % marine  fauna, sementara  brachiopods sedikit saja.
 Berlimpahnya  CO2 di atmosfer dan air laut serta  pengasaman air laut yang diakibatkan  olehnya juga menjadi penyebab  mengapa pada end Permian itu Paleozoic  tabulate and rugose corals dan  coral reefs hilang. Kasus ini bisa  terulang pada zaman kita sekarang,  banyak terumbu karang yang rusak  akibat CO2 meningkat di atmosfer dan  lautan (coral bleaching). Terumbu  tak punya lagi struktur karangnya  karena berubah menjadi bentuk lunak  seperti anemon, bila kondisi asam  air laut berkurang, ia akan mampu lagi  membangun rangka mineralisasinya  (karang).
Pada masa sekarang,  kronologi kepunahan makhluk hidup dapat digambarkan seperti:
Pada  saat ini, lebih dari sepertiga populasi amfibi  di dunia mengalami  penurunan. Kehidupan binatang yang tak lepas dari  kehadiran air ini  sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi  sekarang, misal  musim hujan yang datang terlambat, tak menentu, dan  kian singkat.
Meski  sebagian besar  amfibi hanya hidup di air pada fase tertentu, kulit  mereka harus tetap  lembap dan terjaga dari kekeringan. Para peneliti  yakin setiap jenis  hewan atau tumbuhan hanya dapat hidup pada satu set  kondisi iklim  tertentu, yang tersebar pada satu "amplop iklim".
Pemanasan  global menyebabkan pergeseran penyebaran  berbagai jenis binatang dan  tumbuhan itu menuju lokasi dengan "amplop  iklim" yang sesuai. Bisa ke  arah kutub atau ke dataran yang lebih  tinggi. Peningkatan suhu global  juga ditengarai mengubah penutupan awan  pada daerah dataran tinggi.  Pemanasan meningkatkan evaporasi dan  kapasitas udara menahan air,  sehingga menambah kandungan uap air. 
Formasi  awan bergantung pada kelembapan relatif, yang  bervariasi dan berbanding  terbalik dengan suhu. Jika massa udara  mendingin--misalnya pada saat  massa ini naik ke lereng gunung--atau uap  air meningkat, berarti ada  peningkatan formasi awan. Penutupan awan  menjadi lebih luas. Percaya  atau tidak, penutupan awan ini ternyata  berhubungan dengan penurunan  populasi katak. Penelitian di pegunungan  Costa Rica mengindikasikan  turunnya populasi katak akibat iklim kering  yang tidak normal, yang  disebabkan oleh peningkatan ketinggian formasi  awan.
Meningkatnya  penutupan awan dan  iklim yang kering ini membuat kemampuan katak  meningkatkan suhu  tubuhnya menjadi turun. Padahal kemampuan ini adalah  kunci untuk  menghindari infeksi chytrid. Jamur ini tumbuh optimal di  kondisi yang  sejuk dan lembap, 6-28 derajat Celsius, tapi mati pada suhu  yang lebih  tinggi. Eksperimen pada katak Australia Litoria chloris  menunjukkan  suhu tubuh yang meningkat pada katak, dengan berjemur di  bawah sinar  matahari atau di lingkungan yang hangat, dapat menyembuhkan  katak dari  infeksi jamur chytrid. Sayangnya, pada kondisi berawan, katak  sulit  mendapatkan lokasi yang "hangat" untuk berjemur. Kondisi kering  juga  mengakibatkan katak harus mencari tempat yang sejuk dan lembap  karena  kurang cairan.
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar