Rabu, 20 April 2011

Zaman Triassic

Pada zaman Triassic inilah mulai munculnya dinosaurus pertama, seperti Coelophysis, dinosaurus yang licik dan cepat yang hidup dan berburu dalam kawanan. Banyak dinosaurus di zaman Triassic ini adalah karnivora (pemakan daging). Mereka berdiri dengan dua kaki dan sangat cepat menggunakan kakinya pada saat mereka berburu makanan. Mereka memiliki mulut besar yang dipenuhi dengan gigi yang besar dan tajam. Mereka membutuhkan gigi-gigi ini dan juga cakar mereka yang kuat sebagai senjata untuk membunuh, kemudian memakan mangsa mereka. Salah satu dinosaurus di zaman Triassic, Herrerasaurus, adalah leluhur awal dari dinosaurus yang paling menakutkan: Tyrannosaurus rex. Dengan adanya dinosaurus seperti ini, dunia di zaman Triassic adalah tempat yang sangat berbahaya.

Dinosaurus diatas bukan hanya satu-satunya reptil besar di zaman itu. Satu pemangsa menakutkan di zaman Triassic lainnya adalah Cynognathus, reptil besar mirip mamalia yang tampak seperti campuran antara anjing dan kadal. Dinosaurus besar yang juga mirip reptil lainnya, disebut Postosuchus, yang sebenarnya adalah leluhur dari buaya modern. Namun diakhir zaman Triassic semakin jelas bahwa dinosaurus inilah yang saat ini mendominasi bumi.

Kepunahan pada Zaman Permia

Suatu spesies bisa punah karena habitatnya dirusak atau karena lingkungannya telah berubah kearah yang merugikan bagi spesies tersebut kepunahan pada kenyataannya tidak dapat dihindari dalam dunia yang selalu berubah.
Kepunahan pada masa permium menentukan terjadi sekitar 250 juta tahun silam. Kepunahan pada masa permium menentukan perbatasan antara zaman paleozoikum dan mesozoikum yang memakan korban sekitar 90% spesies hewan laut dan kehidupan daratan juga hancur kepunahan masal terjadi kurang dari 5 juta tahun dalam konteks waktu geologis dapat dikatakan sebagai kejadian yang singkat dan tiba-tiba.
Beberapa faktor mungkin berpadu dan secara bersama-sama yang menyebabkan perubahan lingkungan yang radikal selama akhir masa permium. Kira-kira saat itu adalah waktu ketika semua daratan menyatu membentuk pangea yang mengganggu banyak habitat laut dan daratan dan mengubah iklim letusan vulkanis yang besar dan meluas juga terjadi didaerah yang sekarang dikenal dengan siberia yang tergolong peristiwa letusan vulkanis yang paling ekstrim pada 500 juta tahun terakhir selain memuntahkan lava dan debu ke atmosfer, gunung berapi Siberia dapat dikatakan telah menghasilkan cukup banyak CO2 untuk menaikkan suhu iklim global. Penurunan perbedaan temperatur antara ekuator dan kutub mungkin telah memperlambat pencampuran air laut yang selanjutnya mengurangi O2 yang tersedia bagi organisme laut. Adanya kekurangan Oksigen di laut mungkin telah memainkan peranan besar dalam kepunahan dimasa permia. Apapun penyebabnya kepunahan masal mempengaruhi keanekaragaman biologis secara mendalam, akan tetapi, terdapat suatu sisi kreativ pada peristiwa penghancuran ini baik melalui kualitas adaptasi yang dimilikinya atau melalui keberuntungan semata, menjadi bibit untuk radiasi baru yang akan mengisi banyak zona adaptif yang telah kosong atau baru diciptakan oleh kepunahan tersebut.
Studi dilakukan khusus pada kelompok fosil brachiopods, benthic molluscs, dan bryozoans. Fosil-fosil ini dapat merekam kondisi lingkungan dan ekologi pada saat mereka hidup dan sensitif pada periode ujung Paleozoic dan awal Mesozoic tersebut. Dari studi tersebut disimpulkan bahwa stressful ocean conditions adalah mekanisme penyebab kepunahan Permian. Saat itu telah terjadi peningkatan H2S (kondisi euxinia), peningkatan konsentrasi CO2, dan penurunan konsentrasi O2 (anoxia). Menurut studi ini, kondisi stressful ocean ini berlangsung dari Late Permian sampai early Triassic.
Environmental stress selama Late Permian mungkin telah dimulai sejak akhir Middle Permian. Saat itu terjadi kondisi anoxic di lautdalam yang berasosiasi engan Pemian-Triassic superanoxia event. Lautdalam bahkan kaya H2S (euxinic) di beberapa cekungan. Data sedimentologi dan geokimia endapan2 Late Permian menunjukkan kondisi euxinia dan kaya CO2 sampai Early Triassic. Kondisi stress di lautdalam ini telah bergerak ke tempat dangkal dan inilah yang menyebabkan end-Permian mass extinction yang menyebabkan 80 % spesies marin punah dan 63 % terrestrial families hilang. Kondisi ini diperparah dengan bertambahnya konsentrasi CO2 di atmosfer akibat massive Siberian Trap volcanism yang telah menyebabkan kondisi hypercapnia dan/atau pengasaman lautan dan krisis biokalsifikasi.
Pada periode (Permian-Triassic boundary) ini secara paleontologi dibuktikan oleh shift dalam global taxonomic richness dari rhynchonelliform brachiopods ke diverse molluscs. Perubahan ekologi akibat stress lingkungan ini telah mengurangi dengan drastis dominasi brakiopoda dan briozoa berganti dengan moluska. Jadi, kondisi anoxia dan euxinic lautdalam telah mempengaruhi brakiopoda dan briozoa, tetapi tak berpengaruh terhadap benthic molluscs.

Data kuantitatif fossil marine assemblages menunjukkan bahwa rhynchonelliform brachiopods menurun terus jumlahnya sepanjang Late Permian dan Early Triassic, terbalik dengan benthic molluscs (bivalves dan gastropods), tetapi kembali berlimpah ke tingkat semula pada Late Permian tercapai pada Middle dan Late Triassic. Pada Late-Permian – Early Triassic itu, bivalves mendominasi 70 % marine fauna, sementara brachiopods sedikit saja.
Berlimpahnya CO2 di atmosfer dan air laut serta pengasaman air laut yang diakibatkan olehnya juga menjadi penyebab mengapa pada end Permian itu Paleozoic tabulate and rugose corals dan coral reefs hilang. Kasus ini bisa terulang pada zaman kita sekarang, banyak terumbu karang yang rusak akibat CO2 meningkat di atmosfer dan lautan (coral bleaching). Terumbu tak punya lagi struktur karangnya karena berubah menjadi bentuk lunak seperti anemon, bila kondisi asam air laut berkurang, ia akan mampu lagi membangun rangka mineralisasinya (karang).
Pada masa sekarang, kronologi kepunahan makhluk hidup dapat digambarkan seperti:
Pada saat ini, lebih dari sepertiga populasi amfibi di dunia mengalami penurunan. Kehidupan binatang yang tak lepas dari kehadiran air ini sangat rentan terhadap perubahan iklim yang terjadi sekarang, misal musim hujan yang datang terlambat, tak menentu, dan kian singkat.
Meski sebagian besar amfibi hanya hidup di air pada fase tertentu, kulit mereka harus tetap lembap dan terjaga dari kekeringan. Para peneliti yakin setiap jenis hewan atau tumbuhan hanya dapat hidup pada satu set kondisi iklim tertentu, yang tersebar pada satu "amplop iklim".
Pemanasan global menyebabkan pergeseran penyebaran berbagai jenis binatang dan tumbuhan itu menuju lokasi dengan "amplop iklim" yang sesuai. Bisa ke arah kutub atau ke dataran yang lebih tinggi. Peningkatan suhu global juga ditengarai mengubah penutupan awan pada daerah dataran tinggi. Pemanasan meningkatkan evaporasi dan kapasitas udara menahan air, sehingga menambah kandungan uap air.
Formasi awan bergantung pada kelembapan relatif, yang bervariasi dan berbanding terbalik dengan suhu. Jika massa udara mendingin--misalnya pada saat massa ini naik ke lereng gunung--atau uap air meningkat, berarti ada peningkatan formasi awan. Penutupan awan menjadi lebih luas. Percaya atau tidak, penutupan awan ini ternyata berhubungan dengan penurunan populasi katak. Penelitian di pegunungan Costa Rica mengindikasikan turunnya populasi katak akibat iklim kering yang tidak normal, yang disebabkan oleh peningkatan ketinggian formasi awan.
Meningkatnya penutupan awan dan iklim yang kering ini membuat kemampuan katak meningkatkan suhu tubuhnya menjadi turun. Padahal kemampuan ini adalah kunci untuk menghindari infeksi chytrid. Jamur ini tumbuh optimal di kondisi yang sejuk dan lembap, 6-28 derajat Celsius, tapi mati pada suhu yang lebih tinggi. Eksperimen pada katak Australia Litoria chloris menunjukkan suhu tubuh yang meningkat pada katak, dengan berjemur di bawah sinar matahari atau di lingkungan yang hangat, dapat menyembuhkan katak dari infeksi jamur chytrid. Sayangnya, pada kondisi berawan, katak sulit mendapatkan lokasi yang "hangat" untuk berjemur. Kondisi kering juga mengakibatkan katak harus mencari tempat yang sejuk dan lembap karena kurang cairan.

The Carboniferous 354 to 290 Million Years Ago

The Carboniferous Period occurred from about 354 to 290 million years ago during the late Paleozoic Era. The term "Carboniferous" comes from England, in reference to the rich deposits of coal that occur there. These deposits of coal occur throughout northern Europe, Asia, and midwestern and eastern North America. The term "Carboniferous" is used throughout the world to describe this period, although this period has been separated into the Mississippian (Lower Carboniferous) and the Pennsylvanian (Upper Carboniferous) in the United States. This system was adopted to distinguish the coal-bearing layers of the Pennsylvanian from the mostly limestone Mississippian, and is a result of differing stratigraphy on the different continents. Coal swamp Carboniferous Forest : The Carboniferous Period is famous for its vast coal swamps, such as the one depicted here. Such swamps produced the coal from which the term "Carboniferous", or "carbon-bearing" comes. In addition to having the ideal conditions for the beginnings ofcoal, several major biological, geological, and climatic events occurred during this time. One of the greatest evolutionary innovations of the Carboniferous was the amniote egg, which allowed for the further exploitation of the land by certain tetrapods. The amniote egg allowed the ancestors of birds, mammals, and reptiles to reproduce on land by preventing the desiccation of the embryo inside. There was also a trend towards mild temperatures during theCarboniferous, as evidenced by the decrease in lycopods and large insects and an increase in the number of tree ferns. Geologically, the Late Carboniferous collision of Laurussia (present-day Europe and North America) into Godwanaland (present-day Africa and South America) produced the Appalachian mountain belt of eastern North America and the Hercynian Mountains in the United Kingdom. A further collision of Siberia and eastern Europe created the Ural Mountains. The stratigraphy of the Lower Carboniferous can be easilydistinguished from that of the Upper Carboniferous. The environment of the Lower Carboniferous in North America was heavily marine, when seas covered parts of the continents. As a result, most of the mineral found in Lower Carboniferous is limestone, which are composed of the remains of crinoids, lime-encrusted green algae, or calcium carbonate shaped by waves. The North American Upper Carboniferous environment was alternately terrestrialand marine, with the transgression and regression of the seas caused by glaciation. These environmental conditions, with the vast amount of plant material provided by the extensive coal forests, allowed for the production of coal. Plant material did not decay when the seas covered them and pressure and heat eventually built up over the millions of years to transform the plant material to coal.

The Silurian 443 to 417 Million Years Ago




The Silurian (443 to 417 million years ago) was a time when the Earth underwent considerable changes that had important repercussions for the environment and life within it. The Silurian witnessed a relative stabilization of the earth's general climate, ending the previous pattern of erratic climatic fluctuations. One result of these changes was the melting of large glacial formations. This contributed to a substantial rise in the levels of the major seas.
Coral reefs made their first appearance during this time, and the Silurian was also a remarkable time in the evolution of fishes. Not only does this time period mark the wide and rapid spread of jawless fish, but also the highly significant appearances of both the first known freshwater fish as well as the first fish with jaws. It is also at this time that our first good evidence of life on land is preserved, including relatives of spiders and centipedes, and also the earliest fossils of vascular plants.

Selasa, 19 April 2011

Zaman manusia purba

manusia purba Pithecanthropus erectus

manusia purba Pithecanthropus erectus
Manusia Jawa adalah salah satu jenis Homo erectus yang pertama kali ditemukan. Awalnya, manusia ini diberi nama ilmiah Pithecanthropus erectus oleh Eugène Dubois, orang yang berhasil menemukan fosilnya di Trinil pada tahun 1891. Nama Pithecanthropus erectus sendiri berasal dari akar bahasa Yunani dan latin dan memiliki arti manusia-kera yang dapat berd
Sejarah
Ketika itu, Eugène Dubois tidak berhasil mengumpulkan fosil Pithecanthropus secara utuh melainkan hanya tempurung tengkorak, tulang paha atas dan tiga giginya saja. Dan sampai saat ini, belum ditemukan bukti yang jelas bahwa ketiga tulang tersebut berasal dari spesies yang sama.[1] Sebuah laporan berisi 342 halaman ditulis pada waktu itu tentang keraguan validitas penemuan tersebut. Meskipun demikian manusia Jawa masih dapat ditemukan di buku-buku pelajaran saat ini. Fosil yang lebih lengkap kemudian ditemukan di desa Sangiran, Jawa Tengah, sekitar 18km ke Utara dari kota Solo. Fosil berupa tempurung tengkorak manusia ini ditemukan oleh Gustav Heinrich Ralph von Koenigswald, seorang ahli paleoantropologi dari Berlin, pada tahun 1936. Selain fosil, banyak pula penemuan-penemuan lain di situs sangiran ini[2].
Sampai temuan manusia yang lebih tua lainnya ditemukan di Great Rift Valley, Kenya, temuan Dubois dan von Koenigswald merupakan manusia tertua yang diketahui. Temuan ini juga dijadikan rujukan untuk mendukung teori evolusi Charles Darwin dan Alfred Russel Wallace. Banyak ilmuwan pada saat itu yang juga mengajukan teori bahwa Manusia Jawa mungkin merupakan mata rantai yang hilang antara manusia kera dengan manusia modern saat ini. Saat ini, antropolog bersepakat bahwa leluhur manusia saat ini adalah Homo erectus yang hidup di Afrika (dikenal pula dengan nama Homo ergaster).